Akhir-akhir ini dunia film Indonesia tampaknya dikuasai film bergenre komedi, romantis, dan…horror. Sampai bosan rasanya mengamati poster film-film yang tayang tiap harinya di bioskop. Padahal saya, selaku emak-emak homeschooling, butuh sekali film anak yang mampu membantu membangun karakter positif anak, menyemangati anak untuk belajar dimana saja, dan sekaligus mengajarkan mereka banyak hal tentang kehidupan berkebangsaan. Hitungan saya, sepanjang tahun 2017 ini baru ada dua film anak yang saya anggap layak tonton bagi anak-anak usia SD, seperti kedua anak saya yang menjalani homeschooling.
Beruntung saya baru-baru ini ditawari seorang sahabat untuk ikut hadir di Gala Premier sebuah film anak (semua usia sih kayaknya) yang berjudul “Jembatan Pensil”. Sebelumnya sudah lihat iklan eh trailer film ini saat menonton sebuah film Indonesia di Plaza Depok XXI. Waktu itu saya membatin, kayaknya nih film wajib deh ditonton. Eh, Alhamdulillah malah dikasih kesempatan ikutan Gala Premier-nya di Gandaria City XXI, minggu 3 September 2017.
Ternyata, film yang dibintangi beberapa debutan cilik dan remaja yang sangat berbakat ini, memang enggak salah jadi wishlist tontonan. Berlokasi di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (yang belum pernah diangkat di film manapun lho), settingnya sudah bikin jatuh cinta. Pemandangan alam yang indah, perpaduan antara laut (pantai), perbukitan, dan kota kecil serta pedesaan, membuat film ini indah dipandang. Kekayaan budaya asli lewat pekerjaan penduduknya, seperti bertenun, nelayan, dan peternak sapi, digambarkan dengan cukup jelas.
Terus ceritanya bagaimana ?
baca ja : jembatan pensil sinopsisPerjuangan anak-anak usia SD di Kabupaten Muna, yang diwakili oleh Ondeng, Inal, Yanti, Nia, dan Aska, untuk terus mendapatkan pendidikan, meski lewat sebuah sekolah Gratis yang sederhana, yang dibangun oleh Pak Guru, harus selalu diawali dengan ujian yang cukup berat, yaitu melewati sebuah jembatan yang sudah rapuh dan nyaris rubuh, sehingga cukup membahayakan nyawa mereka. Terlebih, diantara mereka sendiri, ada Ondeng yang memiliki ‘keterbelakangan’ dan Inal yang tuna netra, serta kondisi keluarga mereka yang di bawah garis kemiskinan. Namun demikian, mereka tetap menjalaninya dengan gembira dan memaknai persahabatan dengan ketulusan. Mereka semakin senang, karena anak perempuan pak guru yang baru lulus sarjana, Aida, datang dari Jakarta untuk membantu mengajari mereka.
Persahabatan mereka terus berjalan, meski Ondeng sering diganggu Attar yang jahil. Ondeng tetap tidak mendendam, malah ia selalu bersikap baik pada teman-temannya. Di balik kekurangannya, Ondeng memiliki kemampuan menggambar sketsa. Semua yang menarik perhatiannya dituangkannya dalam sketsa, termasuk kehidupan ayahnya sebagai nelayan, dan cita-citanya untuk membangun sebuah jembatan untuk teman-temannya.
Ondeng sangat terpukul ketika ayahnya wafat saat mendapat musibah di laut. Untunglah ada Gading, nelayan muda pembelajar yang juga yatim piatu, yang selalu ikut ayah Ondeng melaut. Gading kemudian berjanji menjaga dan menyayangi Ondeng seperti saudaranya sendiri.
Jembatan itu akhirnya rubuh saat keempat sahabat itu sedang menyeberang, Namun semangat mereka dan Ondeng tidak surut, dengan bantuan Gading mereka terus berjuang dalam berangkat dan pulang sekolah. Sementara itu, Ondeng terus merancang jembatan yang dicita-citakannya dalam bentuk sketsa dan menabung uang pemberian ayahnya untuk membangun jembatan itu.
Aida dan Gading mengajari anak-anak untuk tidak hanya belajar di dalam kelas, namun juga belajar dari alam. Anak-anak yang sudah sedari dulu dekat dengan alam tentu saja sangat senang dengan pengalaman barunya. Oh yaaa, satu saja kekurangan film ini, sosok Gading digambarkan cukup terpelajar, namun nyaris tidak ada satu scene-pun yang menceritakan bagaimana sekilas kehidupannya sebelum ketemu dengan ayahnya Ondeng. Oopss. maafken saya sok tau.
Ondeng sangat kehilangan ayahnya, dan seringkali ketakutan serta merasa sendirian. Dalam ketakutan dan kekalutannya, Ondeng melarikan diri ke laut dengan perahu. Bagaimana nasib Ondeng? Berhasilkah dia menggapai mimpinya membangun jembatan untuk teman-temannya?
Tuh kaan, filmnya dramatis bangeeet. Tapi enggak mellow yellow gitu kok. Film ini membalut kesedihan demi kesedihan di dalamnya dengan perpaduan tawa ceria anak-anak yang polos dan pemandangan indah yang tersaji. Jadi, habis nonton film ini rasanya optimis dan happy, meski tetap sedih.
Itu yaaa, para pemainnya keren banget deh. Jempol banget buat Didi Mulya yang sukses bermain sebagai Ondeng, Angger Bayu sebagai Inal, Deden Bagaskara sebagai Pak Mone (ayahnya Ondeng), Kevin Julio (Gading), Andi Bersama (Pak Guru), Alisia Rininta (Aida), dan tentu saja Mbak Mer alias Meriam Bellina (Ibu Farida, ibunya Aida).belum lagi permainan Azka Marzuqi (aska), Permata Jingga (Yanti), Nayla D Purnama (Nia), Vickram Priyono (Attar).
Film yang disutradarai oleh Hasto Broto dan naskahnya ditulis oleh Exan Zen ini memang enggak boleh dilewatkan deh.
Jaaadi, menurut saya, paling tidak, ada 7 alasan mengapa anak Indonesia wajib nonton film Jembatan Pensil ini.
Settingnya Indonesia banget, jadi mengajak anak-anak mengenal dan lebih mencintai tanah airnya sendiri.
Mengangkat daerah yang punya potensi wisata alam besar, yaitu Kabupaten Muna. Jadi anak-anak bisa lho merancang daerah ini sebagai tujuan wisata liburan.
Film ini mengajarkan tentang kekurangan yang dimilki tidak harus jadi penghambat cita-cita, dan focus pada kelebihan.
Banyak diajarkan di sini nilai-nilai persahabatan dan ketulusan.
Anak-anak diajak kenal beberapa jenis profesi : petenun, nelayan, peternak sapi, guru.
Sikap Ondeng cs yang tidak minder meski banyak keterbatasan, bisa jadi contoh yang baik bagi anak-anak.
Hubungan ayah-anak yang lekat, seperti hubungan Pak Mone dan Ondeng, serta pak Guru dan Aida, bisa jadi contoh baik untuk ayah-ayah dan anak-anaknya.